Rabu, 29 Juli 2015

Simulasi Dinamika Molekular

I. PENDAHULUAN
Dinamika molekuler merupakan suatu metode untuk menyelidiki struktur dari zat padat, cair dan gas. Umumnya dinamika molekuler menggunakan teknik persamaan hukum newton dan mekanika klasik. Tujuan utama dari simulasi dinamika molekuler adalah (Astuti dan Mutiara,2009):
Menghasilkan trajektori molekul dalam jangka waktu terhingga.
Menjadi jembatan antara teori dan hasil eksperimen.
Memungkinkan para ahli kimia untuk melakukan simulasi yang tidak bisa dilakukan dalam   laboratorium.
Simulasi dinamika molekul merupakan sebuah metode yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi terhadap sifat-sifat statik maupun dinamik yang diturunkan secara langsung dari interaksi ditingkat atom atau molekul. Mengingat belum ada altematif lainnya yang dapat digunakan untuk memecahkan persoalan itu sampai ketingkatan yang cukup rinci maka metoda simulasi dinamika molekul ini merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam penelitian baik untuk ilmu
mumi maupun rekayasa (Dipojono,2001).
            Konsep Dinamika Molekuler yaitu, besarnya gaya antar molekul dihitung secara eksplisit dan pergerakan molekul dikomputasi dengan metode integrasi. Metode ini digunakan untuk menyelesaikan persamaan newton pada atom yang konstituen. Dimana kondisi awal digambarkan dengan posisi dan kecepatan atom. Berdasarkan persepsi newton, dari posisi awal, dapat dilakukan penghitung posisi dan kecepatan selanjutnya dalam interval waktu yang kecil serta penghitungan gaya pada posisi yang baru. Hal ini berulang untuk beberapa saat, bahkan hingga ratusan kali (Astuti dan Mutiara,2009).
Konsep yang digunakan dalam Gromacs adalah syarat batas periodik dan group. Syarat batas periodik merupakan cara klasik yang digunakan pada Gromacs untuk mengurangi efek tepi dalam suatu sistem. Dimana atom yang akan disimulasikan diletakan pada sebuah box, yang disekitarnya dikelilingi oleh salinan atom tersebut. Dalam Gromacs terdapat beberapa model box yaitu triclinic, cubic serta octahedron. Konsep Gromacs yang kedua adalah group. Konsep ini digunakan dalam Gromacs untuk menampilkan suatu tindakan. Setiap group hanya dapat memiliki jumlah atom maksimum 256, dimana setiap atom hanya boleh mempunyai enam group yang berbeda(Astuti dan Mutiara,2009).
.
Algoritma Verlet

Algoritma inilah yang paling banyak digunakan untuk keperluan dinamika molekul. Ide dasarnya adalah menguraikan posisi atom, misal atom dengan indek I, R[ dalam deret Taylor sampai orde ketiga, baik secara maju ( forward) maupun mundur (backward) dalam waktu. Jadi dapat dituliskan(Astuti dan Mutiara,2009),
Jika kedua persarnaan di alas dijumlahkan maka akan diperoleh bentuk dasar dari algoritma Verlet yaitu(Astuti dan Mutiara,2009),


Persoalan yang timbul dalam menggunakan algoritma Verlet versi ini adalah bahwa kecepatan atom tidak langsung tersedia. Meskipun kecepatan itu tidak diperlukan untuk mengetahui evolusi trayektori namun pengetahuan mengenai kecepatan ini kadang kadang diperlukan, misalnya untuk menghitung energi kinetik yang amat diperlukan untuk menguji aspek konservasi energi total sistem. Kecepatan itu dapat saja dihitung dengan menggunakan persamaan(Astuti dan Mutiara,2009),

Namun kesalahan dalam persamaan untuk kecepatan ini adalah dalam order Δt2, bukan lagi dalam order Δt4. Untuk mengatasi persoalan ini telah dikembangkan beberapa variasi dari algoritma Verlet ini yang salah satu di antaranya adalah(Astuti dan Mutiara,2009),

Tujuan dari percobaan ini yaitu untuk menganalisis profil fungsi distribusi radial g(r), fluktuasi energi, mean square displacement (MDS), dan menentukan koefisien difusi D dengan menggunakan teknik simulasi dinamika molekular untuk sistem homogen sederhana.

II. METODOLOGI
2.1. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah

2.2. Prosedur
Pertama, praktikan menyiapkan program simulasi dinamika molekular GROMACS pada server komputas. Dalam direktori kerja terdapat tiga file yaitu topol.top, grompp.mdp, argon-init.py dan coordnum.py. Lalu membuat tiga direktori, masing-masing bernama solid, liquid dan gas. Kemudian mengcopy file gromp.mdp dan topol .top pada masing-masing direktori tersebut. Lalu praktikan melakukan sign in ke direktori solid, kemudian membuat konfigurasi awal sel simulasi yang berisi argon sebanyak 512 partikel sesuai perintah: phyton . . /argon-iniy.py. Kemudian mengedit file teks grompp.mdp dengan perintah nano grompp.mdp. Kemudian mencari baris yang memuat parameter dan menyesuaikan nilainya sesuai perintah , untuk menyimpan file tekan ctrl-o dan untuk keluar dari prograam nano tekan ctrl-x. Selanjutnya mengkompilasi semua file parameter tersebut menjadi satu menggunakan perintah: grompp. Menjalankan GNU screen, kemudian menjalankan GROMACS dengan perintah,: make. Setelah simulasi berakhir , memastikan terdapat 4 file hasil analisis berikut: energy.xvg, msd.xvg, rdf.xvg dan traj.gro. Lalu mengcopy keempar file tersebut ke komputer praktikan. Praktkan membuka file traj.gro di VMD atau avogadro. Kemudian menggunakan gnuplot untuk memplot energi potensial terhadap waktu dari data yang terdapat dalam file energy.xvg. Lalu mengamati waktu ketika terjadi perubahan fasa. Selanjutnya, mengulangi prosedur yang sama seperti sebelumnya dalam drektori liquid dan direktori gas dengan parameter: Liquid dengan =1,40g mL-1, Nstop= 106, T=120K dan Gas dengan =1,784 x 10-3g mL-1, Nstop= 106, T=273K. Untuk direktori solid, menjalankan perintah: phyton . . / coordnum.py yang menganalisis bilangan koordinasi kristal argon yang terbentuk. Lalu membandingkan hasilnya menurut bilangan kooridnasi yang ada dengan literatur. Kemudian membuat grafik yang menunjukkan hubungan fungsi distribusi radial g(r) dengan jarak r unuk tiga fasa dalam satu grafik dengan menggunakan file rdf.xvg. Selanjutnya, membuat grafik yang menunjukkan perubahan energi potensial terhadap waktu untuk tiga fasa dalam satu grafik dengan menggunakan file energy.xvg. Lalu membuat grafik MSD vs waktu untuk tiga fasa dalam satu grafik dengan mengggunakan file msd.xvg. Kemudian menghitung Koefisien difusi untuk Ar pada semua fasa dalam percobaan. Lalu membandingkan nilai dari data eksperimen ( sebesar 210 P pada tekanan 1 atm dan temperatur 273K) dengan viskositas yang diperoleh dari hasil simulasi.
2.2.1
2.2.2
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah melakukan praktikum kali ini didapat data sebagai berikut :

IV. KESIMPULAN
Dari praktikum ini dapat disimpulkan

V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Astuti,A.D. dan Mutiara, A.B. 2009, Simulasi Dinamika Molekuler Protein Dengan Aplikasi Gromacs, Teknik Informatika, Teknologi Industri, Universitas Gunadarma
[2] Dipojono, H.K.,2001, Simulasi Dinamika Molekul, Laboratorium Komputasi Material, Departemen Teknik Fisiko, ITB




Kesetimbangan Fasa Cair-Cair dan Cair-Uap

ABSTRAK:  Pada percobaan kesetimbangan fasa cair-cair dan cair-uap, praktikan melakukan pengukuran indeks bias terhadap pelarut murni dan campuran metanol dan etanol dengan menggunakan refraktometer. Dari data tersebut, praktikan dapat membuat kurva hubungan antara indeks bias terhadap komposisi. Berdasarkan kurva tersebut, menunjukkan bahwa fraksi mol metanol berbanding terbalik dengan indeks biasnya. Pada destilasi campuran biner, praktikan melakukan destilasi untuk memperoleh destilat dari campuran pelarut methanol dan ethanol dengan perbandingan 20:6. Dengan memanaskan campuran pelarut tersebut, maka komponennya akan mengalami penguapan kemudian mengalami kondensasi dan menghasilkan destilat. Mengukur indeks bias dari destilat. Praktikan memperoleh kurva hubungan antara titik didih dengan indeks bias dan titik didih dengan volatilifitas relatif (YA). Berdasarkan kurva tersebut menunjukkan bahwa temperature berbanding lurus  dengan indeks bias dan volatilitas relatif.

I. PENDAHULUAN

              Suatu proses pemisahan komponen satu dengan komponen lainnya dalam suatu campuran berdasarkan perbedaan titik didih antara komponen-komponen yang akan dipisahkan disebut dengan destilasi. Pada keadaan setimbang, komposisi cairan dan komposisi uap berbeda. Pada fasa uap akan mengandung lebih banyak  komponen yang volatil atau mudah menguap daripada fasa cair. Pada proses distilasi, cairan akan teruapkan dan mengalami kondensasi lalu menghasilkan destilat. komponen dengan titik didih lebih rendah akan menguap terlebih dahulu. Diagram fasa adalah suatu grafik yang dibuat untuk merepresentasikan tentang fasa-fasa yang ada dalam suatu komponen atau material pada variasi temperatur, tekanan dan komposisi. Komposisi kesetimbangan antara uap-cair ditunjukkan dalam diagram fasa seperti  Gambar 1.1
Gambar 1.1 diagram fasa cair-uap

Apabila larutan komponen A dan komponen B dengan fraksi mol masing-masing adalah xA dan xB berada dalam keserimbangan dengan fasa gasnya, maka tekanan uap masing-masing komponen berbanding lurus dengan fraksi mol dalam larutan. Tekanan uap parsial dari campuran yang merupakan larutan ideal dapat dihubungkan dengan Hukum Raoult sebagai berikut :
pA=xA.p*A           pB=xB.p*B
dimana pA adalah tekanan parsial komponen A, pB adalah tekanan parsial komponen B, p*A adalah tekanan uap murni komponen A dan p*B tekanan uap murni komponen B. Sehingga tekanan uap total p adalah
p = pA + pB = xAp*A + xBp*B = p*B + (p*Ap*B)xA         (Atkins, 2006).
Hubungan antara perubahan tekanan uap dan temperatur dapat dijelaskan dengan persamaan Clausius-Clapeyron :
 ( Castellan, 1983).
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk membuat kurva kalibrasi indeks bias terhadap komposisi dan kurva kesetimbangan antara uap dan cairan.
II. METODOLOGI
II.1. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah 1 set destilator sederhana, 1 set refraktometer, 2 buah gelas kimia 250 ml, 2 buah pipet ukur 2,10 ml, 12 buah tabung reaksi, 1 buah rak tabung reaksi, dan kertas saring. Bahan yang digunakan adalah metanol, etanol, aquades, dan aseton.

II.2. Prosedur
Percobaan yang dilakukan yaitu kalibrasi komposisi melalui penentuan indeks bias dan destilasi campuran biner. Langkah pertama yang dilakukan pada percobaan kalibrasi melalui penentuan indeks bias yaitu praktikan menyiapkan peralatan yang digunakan yaitu 7 tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas ukur, pipet tetes dan rekfratometer. Kemudian mengisi 7 tabung reaksi dengan campuran pelarut metanol-etanol dengan komposisi sebagai berikut. 


             Lalu menghitung fraksi mol setiap komponen dari masing-masing campuran yang telah dibuat. Selanjutnya mengukur indeks bias dari setiap campuran pelarut dengan refraktometer. Lalu mengukur indeks bias dari aquades dengan menggunakan refraktometer. Cara mengukur indeks bias dari setiap pelarut murni dan campuran pelarut yaitu meneteskan pelarut sebanyak 1 tetes pada tempat sampel. Lalu menutup tempat sampel dan mengukur indeks biasnya.  Setelah itu praktikan mencatat hasil indeks biasnya. Selanjutnya dari data tersebut, praktikan membuat kurva hubungan antara indeks bias sebagai fungsi komposisi terhadap komponen.
            Untuk percobaan destilasi campuran biner langkah yang dilakukan yaitu, pertama menyiapkan rangkaian alat destilasi sederhana. Kemudian menyiapkan campuran larutan methanol dan etanol dengan perbandingan kompisisi sebesar 20:6. Memasukan campuran larutan tersebut ke dalam labu alas bulat. Menyalakan penanagas air dan mengecek temperatur awal larutan. Menuggu hingga titik didih tercapai dan destilat terbentuk. Lalu menampung setiap 2 mL destilat pada gelas ukur 10 mL dan mencatat perubahan suhunya. Mencatat perubahan temperature sebanyak 6 kali. Mengukur indeks bias dari destilat yang di dapat. Kemudian mencatat nilai indeks bias dari tiap-tiap destilat. Kemudian membuat kurva indeks bias terhadap kompossisi campuran.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
         
Dari hasil percobaan kalibrasi komposisi melalui penentuan indeks bias diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 3.1 fraksi mol dan indeks bias campuran larutan metanol dan etanol

                   Fraksi mol pelarut murni metanol lebih besar daripada fraksi mol campuran metanol-etanol. Fraksi mol campuran metanol-etanol dengan komposisi metanol lebih besar daripada etanol lebih besar daripada fraksi mol campuran dengan komposisi etanol yang lebih besar.Dari data diatas dapat dibuat hubungan antara indeks bias dengan komposisinya sebagai berikut:

Gambar 3.1 Kurva hubungan antara indeks bias campuran metanol etanol terhadap komposisi

Dari kurva tersebut diperoleh persamaan garis linier, yaitu -0,029x+1,355. Berdasarkan kurva indeks bias di atas menunjukkan bahwa semakin besar fraksi molnya maka harga indeks biasnya semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa indeks bias berbanding terbalik dengan fraksi mol.

Dari hasil percobaan destilasi campuran biner diperoleh data sebagai berikut:


Dari percobaan ini, praktikan memperoleh data tentang titik didih, indeks bias, dan fraksi mol pada tiap komposisi. Pada saat suhu awal larutan, yaitu 27C sampai dengan 68C mengalami kenaikan indeks bias dari 1.3288 sampai dengan 1.3376. kenaikan indeks bias berbanding lurus dengan penurunan fraksi mol methanol dari 1.000 sampai dengan 0.419. penyebabnya adalah sifat methanol lebih volatile atau lebih mudah menguap dari pada etanol, berdasarkan titik didih dari metil murni (64,7C) yang lebih kecil dari pada titik didih dari etil murni(78C). kemudian indeks bias mengalami penurunan secara drastis dari suhu 68C hingga 81C dan indeks bias kembali mengalami kenaikan dari suhu 81C sampai 88C.
Praktikan memperoleh kurva hubungan antara titik didih dengan indeks bias dan titik didih dengan volatilifitas relatif (YA). Kurva tidak sesuai dengan teori yang seharusnya kenaikan suhu menyebabkan penurunan fraksi mol dari methanol, hal ini terjadi karena terjadi kesalahan praktikan dalam melakukan destilasi. 




IV. KESIMPULAN
          Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kurva hubungan indeks bias dengan komponennya dibuat dari data fraksi mol dan indeks bias. Semakin besar harga fraksi molnya maka indeks biasnya semakin kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa fraksimol berbanding terbalik dengan indeks bias. Secara teori kurva tersebut sesuai.
Kurva hubungan antara titik didih dengan indeks bias dan titik didih dengan volatilifitas relatif (YA). Kurva tidak sesuai dengan teori yang seharusnya kenaikan suhu menyebabkan penurunan fraksi mol dari methanol, hal ini terjadi karena terjadi kesalahan praktikan dalam melakukan destilasi. 


V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Atkins, Peter., Paula, J. 2006. Physical Chemistry, Eight Edition. Oxford University Press. New York
[2] Castellan, G.W. 1983. Physical Chemistry, Third Edition. Addison-Wesley Publishing Company. Canada


Adsorpsi Larutan oleh Zat Padat

ABSTRAK: Pada praktikum kali ini praktikan melakukan percobaan Adsorpsi Larutan oleh Zat Padat untuk menentukan luas permukaan spesifik secara sederhana berdasarkan bilangan iodin, mempelajari sifat adsorpsi larutan oleh zat padat dan menentukan persamaan adsorpsi pada suhu tetap. Menentukan luas permukan spesifik karbon dengan cara menentukan bilangan iodin, praktikan menitrasi larutan yang berisi karbon aktif, HCl, dan larutan iodin dengan larutan natrium tiosulfat. Dengan menggunakan volume peniter hasil titrasi dapat menentukan bilangan iodinnya. Karbon aktif menyerap iodin ke permukaannya membentuk lapisan monolayer sehingga dapat menentukan luas permukaan spesifik karbon aktif. Penentuan daya adsorpsi  dengan cara menentukan banyak asam asetat yang diadsorpsi dengan persamaan Freundlich dan Langmuir dengan cara menitrasi larutan yang berisi asam asetat dan karbon aktif dengan larutan NaOH 0,25M. Berdasarkan percobaan angka iodin sebesar 5,92. Diperoleh persamaan freundlich y= 0.280x - 0.831 dan persamaan langmuir y=-0,3922x + 0,0069. Semakin besar konsentrasi larutan semakin kecil daya adsorpsinya .
Kata kunci: Bilangan iodin, Persamaan Langmuir, Persamaan Freundlich, luas permukaan spesifik karbon,  Adsorpsi, Daya Adsorpsi


I. PENDAHULUAN
Karbon aktif adalah bentuk umum dari berbagai macam produk yang mengandung karbon yang telah diaktifkan untuk meningkatkan luas permukannya. Karbon aktif berbentuk kristal mikro karbon grafit yang pori-porinya telah mengalami pengembangan kemampuan untuk mengadsorpsi gas dan uap dari campuran gas dan zat-zat yang tidak larut atau yang terdispersi dalam cairan [1]. Luas permukaan, dimensi, dan distribusi karbon aktif bergantung pada bahan baku, pengarangan, dan proses aktivasi. Berdasarkan ukuran porinya, ukuran pori karbon aktif diklasifikasikan menjadi 3, yaitu mikropori (diameter <2 nm), mesopori (diameter 2-50 nm), dan makropori (diameter >50 nm) [2]. Penggunaan karbon aktif di Indonesia mulai berkembang dengan pesat, yang dimulai dari pemanfaatannya sebagai adsorben untuk pemurnian pulp, air, minyak, gas, dan katalis.
Adsorpsi adalah gejala pengumpulan molekul-molekul suatu zat pada permukaan zat lain, sebagai akibat dari ketidakjenuhan gaya-gaya pada permukaan zat tersebut. Proses adsorpsi dalam larutan, jumlah zat teradsorpsi tergantung pada beberapa faktor, seperti jenis adsorben, jenis adsrobat, luas permukaan adsorben, konsentrasi zat terlarut, dan temperatur. Bagi suatu sistem adsorpsi tertentu, hubungan antara banyaknya zat yang teradsorbsi persatuan luas atau persatuan berat adsorben dengan konsentrasi yang teradsorbsi pada temperatur tertentu disebut dengan isoterm adsorpsi ini dinyatakan sebagai:
x/m = k.Cn
dimana x adalah jumlah zat teradsorpsi (gram), m adalah jumlah adsorben (gram), C adalah konsentrasi zar terlarut dalam larutan setelah tercapai kesetimbangan adsobsi, k dan n adalah tetapan, maka persamaannya menjadi:
log x/m = log k + n log c
Persamaan tersebut mengungkapkan bahwa apabila suatu proses adsorbs menuruti Isoterm Freundich, maka aturan log x/m terhadap log C akan merupakan garis lurus. Dari garis dapat dievaluasi tetapan l dan n [3].

II. METODOLOGI
2.1. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah 1 set shaker, 2 buah buret 50 ml, erlenmeyer 250 ml dan kertas saring. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu karbon aktif, larutan HCl 5%, larutan iodin 0,05M, larutan natrium tiosulfat, larutan amilum, larutan asam asetat, larutan standar NaOH 0,25M dan indikator phenolphtalein (PP).

2.2. Prosedur
2.2.1 Penentuan Bilangan Iodin
            Menimbang karbon aktif sebanyak 0,1 gram. Kemudian memasukkannnya ke dalam erlenmeyer 250 ml dan menambahkan larutan HCl 5% sebanyak 5 ml. Lalu menutup mulut tabung erlenmeyer dengan alumunium foil. Mengaduk larutan dengan alat shaker selama 1 menit. Setelah diaduk, menambahkan larutan iodin 0,05 M sebanyak 50 ml dan menutup kembali tabung erlenmeyer dengan alumunium foil. Mengocok kembali larutan selama 1 menit menggunakan alat shaker. Lalu menyarng larutan tersebut dengan menggunakan kertas saring dan corong gelas. Mengambil 5 ml filtrat yang dihasilkan dan memasukkannya ke dalam erlenmeyer, kemudian menambahkan aquades hingga volume larutan menjadi 100 ml. Menitrasi filtrat tersebut dengan larutan natrium tiosulfat hingga terjadi perubahan warna dari jingga menjadi kuning cerah. Lalu menambahkan larutan amilum secukupnya sebagi indikator. Kemudian melanjutkan titrasi dengan natrium tiosulfat hingga larutan menjadi tidak berwarna. Selanjutnya mencatat volume larutan penitran.
2.2.2 Penentuan Daya Adsorpsi
            Menyiapkan larutan asam asetat dnegan cara mengencerkan larutan asam asetat menjadi larutan dengan konsentrasi 1 M; 0,8 M; 0,6 M; 0,4 M; 0,2 M dan 0,1 M. Lalu mengambil 5 ml larutan asam asetat dengan konsentrasi 0,6 M – 1 M, sedangkan mengambil 10 ml untuk larutan asam asetat 0,1 M – 0,4 M. Kemudian memasukkan masing-masing larutan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Lalu menambahkan setetes indikator PP ke dalam masing-masing larutan. Menitrasi semua larutan menggunakan NaOH 0,25 M. Lalu mencatat volume larutan titrasi sebagai konsentrasi asam asetat mula-mula. Selanjutnya mengambil setiap larutan asam asetat sebanyak 25 ml dan memasukkannya ke dalam erlenmeyer 250 ml. Lalu menambahkan 1 gram karbon aktif pada masing-masing larutan. Menutup erlenmeyer dengan alumunium foil dan mengocok larutan dengan shaker selama 30 menit. Lalu menyaring larutan dengan menggunakan kertas saring dan corong gelas. Mengambil filtratnya sebanyak 5 ml untuk konsentrasi asam asetat 0,6 M – 1 M dan 10 ml untuk konsentrasi asam asetat 0,1 M – 0,4 M. Menitrasi masing-masing larutan dengan NaOH 0,25 M dengan indikator PP. Mencatat volume hasil titrasi sebagai volume konsentrasi asam asetat sisa. Selanjutnya menghitung asam asetat yang diadsorpsi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Setelah melakukan praktikum kali ini didapat data sebagai berikut :

            Angka Iodine (In) diperoleh dari massa iodine awal dikurangi dengan massa iodine sisa kemudian hasilnya di bagi dengan massa karbon. Dari penentuan bilangan iodine, Angka Iodine (In) yang diperoleh sebesar 5.92. Angka Iodine (In) merupakan jumlah miligram iodine yang diserap oleh 1 gram karbon aktif dari larutannya dalam air saat konsentrasi filtrat sisa mencapai 0.02 M, sehingga berdasarkan data yang diperoleh dapat dikatakan bahwa sebanyak 5.92 miligram iodine yang serap oleh 1 gram karbon aktif dari larutannya dalam air. 
             Data hasil percobaan diatas menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi larutan asam asetat maka semakin banyak jumlah molekul asam asetat (zat terlarut) dalam larutan yang dapat diadsorpsi oleh karbon aktif. Grafik persamaan freundlich menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi semakin besar pula nilai (x/m), konstanta adsorpsi (n) sebesar 3,57 serta konstanta adsorpsi (k) sebesar 0,85. Grafik persamaan Langmuir menunjukkan bahwa kurva konsentrasi terhadap mengalami penurunan  yang berarti daya adsoprsinya semakin menurun seiring bertambahnya konsentrasi akhir. Harga 1/a sebesar 0,0069 dan b/a sebesar -0,3922 sehingga daya adsorpsi pada nilai a sebesar 144,93 dan b sebesar -56,84.

IV. KESIMPULAN
Dari praktikum ini dapat disimpulkan bahwa luas permukaan spesifik berdasarkan bilangan iodin sebesar 5,92 . Sedangkan persamaan freundlich y= 0.280x - 0.831 dan persamaan langmuir y=-0,3922x + 0,0069. Berdasarkan persamaan freundlich diperoleh konstanta adsorpsi (k) pada suhu tetap adalah 0,85 dan konstanta n pada suhu tetap adalah 3,57. Berdasarkan persamaan langmuir didapatkan bahwa semakin besar konsentrasi larutan maka semakin kecil daya adsorpsi larutannya.

V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Kustanto. 2000. Karbon Aktif dalam Kehidupan Sehari-hari. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada
[2] Murdiyanto. 2005. Senyawa Karbon. Malang: Universitas Brawijaya
[3] Fessenden,RJ dan Fessenden,JS.1992. kimia Organik. Jilid 2. Erlangga. Jakarta.





Laju Hidrolisis Sukrosa

ABSTRAK: Pada percobaan ini dilakukan percobaan laju hidrolisis sukrosa untuk menentukan tetapan laju reaksi orde pertama dan mempelajari katalisis oleh ion hydrogen serta membandingkan penggunaan katalis ion hidrogen dan biokatalis dalam reaksi inversi sukrosa. Dengan cara mengukur sudut bidang perputaran cahaya menggnakan polarimeter, sehingga mendapatkan besar laju reaksi (k). Berdasarkan kurva hubungan antara ln(αt-α~) dengan waktu, campuran HCl dengan sukrosa nilai konstanta laju hidrolisis yang diperoleh sebesar 0,019 /s. Berdasarkan kurva hubungan antara ln(αt-α~) dengan waktu, campuran sukrosa dengan enzi,m nilai konstanta laju hidrolisis(K1) yang diperoleh sebesar 0,0001 /s  dan nilai konstanta laju hidrolisis(K1) yang diperoleh sebesar 0,009 /s.
Kata kunci: biokatalis, laju hidrolisis sukrosa, reaksi orde pertama

I. PENDAHULUAN
Yang dimaksud dengan kecepatan reaksi adalah perubahan konsentrasi persatuan waktu atau dapat ditulis dc/dt. Dalam reaksi kimia zat-zat kimia dapat dibagi menjadi 2 yaitu produk dan reaktan, dimana produk adalah zat yang bereaksi dan reaktan adalah zat hasil. Reaktan selalu bertambah dan produk selalu berkurang selama reaksi berlangsung sehingga kecepatan reaksinya adalah (Achmad,2001):
Untuk reaktan =-dc/dt
Untuk produk =dc/dt
Secara umum kecepatan reaksi searah dapat ditulis –dc/dt=kCn dimana dalam hal ini C adalah konsentrasi reaktan  (mol/L),t adalah waktu, n adalah orde reaksi dan k adalah konstanta kecepatan reaksi. Pada orde satu persamaan kecepatan reaksi menjadi –dc/dt= k C atau –dC/C=k dt dan bila di integralkan menghasilkan persamaan –ln C=K t+konstanta. Dimana untuk t=0, maka C=C0 (konstrasi mula mula) maka ln C0/C = Kt (Achmad,2001).
Reaksi hidrolisis sukrosa pada dasarnya termasuk kedalam reaksi orde dua, tetapi karena konstrasi air tetap maka reaksi hidrolisis sukrosa dapat digolongkan kedalam reaksi orde satu, C12H22O11 + H2O à C6H12O6 +C6H12O6. Dan rumus yang digunakan ln Csc/C = Kt dan Ks = (1/b) ln(Ccs/Csuntuk mencari K1 dari persamaan tersebut perlu diketahui konsentrasi sukrosa mula-mula pada waktu t (Fessenden,1992).
Pada umumnya konstrasi reaktan dapat diketahui dengan jalan titrasi, tetapi untuk menitrasi campuran sukrosa, glukosa dan fruktosa adalah sangat sulit. Karena itu untuk mengetahui konsentrasi sukrosa dapat dipakai cara polarimeter. Hal ini berdasarkan pemutaran bidang  polarisasi, dimana sukrosa dan glukosa akan memutar bidang polarisasi ke kanan dan fruktosa akan memutar sudut polasrisasi kekiri yang lebih kuat. Larutan sukrosa murni memutar bidang polarisasi ke kanan. Walaupun hidrolisis sudah berjalan,  maka glukosa dan fruktosa akan terbentuk, sehingga pemutaran bidang polarisasi ke kanan akan diperkecil. Pada akhir reaksi, dimana sukrosa habis, larutan menjadi memutar bidang polarisasi ke kiri (Harjadi,1990).
K = (1/t) ln(C/C) = (1/t) ln(ɑ0-ɑa)/(ɑt-ɑa) 
dimana ɑ0 adalah sudut pemutar mula-mula, ɑt adalah pemutaran waktu t, dan ɑa adalah sudut pemutaran akhir (Harjadi,1990).
Laju reaksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi, luas permukaan sentuhan, suhu, dan katalis. Oleh karena itu, reaksi kimia dapat berjalan cepat atau lambat. Dalam industri, reaksi kimia perlu dilangsungkan pada kondisi tertentu agar produknya dapat diperoleh dalam waktu yang sesingkat mungkin. Reaksi dapat dikendalikan dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari adalah pembuatan kopi atau teh yang menggunakan pelarut bersuhu tinggi dengan tujuan untuk meningkatkan laju reaksi (Achmad,2001).
Dalam hidrolisia sukrosa, atom H dari asam klorida atau asam asetat berfungsi sebagai katalisator. Katalisator adalah zat, ion atau gugus yang mempercepat atau memperlambat reaksi, tetapi pada akhir reaksi dilepas kembali dalam bentuk asalnya (tidak mengalami perubahan). Katalisator dibagi menjadi dua jenis yaitu katalisator positif dan katalisator negatif. Dimana katalisator positif adalah katalisator yang mempercepat reaksi dan katalisator negatif adalah katalisator yang memperlambat/ menghentikan reaksi. Istilah katalisator biasanya digunakan untuk katalisator positif,sedangkan katalisator negatif digunakan istilah inhibitor atau poison (racun) (Achmad,2001).
Polarimeter adalah instrumen ilmiah yang digunakan untuk mengukur sudut rotasi yang cara penggunaannya adalah dengan melewatkan cahaya terpolarisasi melalui zat optik aktif. Beberapa zat kimia aktif optik dan terpolarisasi (searah) cahaya akan berputar balik ke kiri (berlawanan arah jarum jam) atau kanan (searah jarum jam) ketika melewati zat ini. Dan jumlah dimana cahaya diputar dikenal dengan sudut rotasi. Sebelum digunakan polarimeter haruslah dikalibrasikan dulu hal ini ditujukan untuk mempermudah dalam hal pengamatan (Oxtoby,2001).

II. METODOLOGI
2.1. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah 1 set polarimeter lengkap,1 buah termometer 1000C ,1 buah Stopwatch dan 1 set penangas air. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu larutan sukrosa, larutan HCl 4N , dan larutan isolate enzim.

2.2. Prosedur
            Pertama, praktikan membuat 2 campuran larutan sukrosa dan HCl dengan perbandingan 1:1 ke dalam Erlenmeyer sebanyak 2 buah dengan cara memasukkan 20 ml larutan ke dalam erlenmeyer 100ml. Kemudian menambahkan 20mL larutan HCl 4 N ke dalamnnya. Selanjutnya membuat 3 campuran larutan sukrosa dan enzim dengan perbandingan 1:20 dengan cara memasukkan 20ml larutan sukrosa ke dalam erlenmeyer 200ml kemudian menambahkan 1ml larutan enzim ke dalamnya. Kemudian memanaskan salah satu larutan sukrosa:enzim dalam penangas air pada temperatur 400C. Lalu memanaskan 1 larutan sukrosa:enzim dan 1 larutan sukrosa:HCl dalam penangas air pada temperatur 700C. Kemudian mendinginkan larutan pada suhu ruang. Selanjutnya melalukan pengukuran ɑ dengan cara membersihkan tabung polarimeter dengan aquades dan mengisinya sampai penuh dengan aquades, lalu mengukur ɑnya dengan polarimeter, kemudian mencatat kedudukan ini sebagai titik nol untuk perhitungan selanjutnya. Lalu mengosongkan tabung dan keringkan. Kemudian mengukur ɑ larutan sukrosa:HCl dan larutan enzim secara bergantian dengan melakukan pengamatan setiap 15 menit selama 60 menit dan mencatat hasilnya sebagai ɑt. Lalu mengukur ɑ larutan sukrosa:HCl dan larutan enzim yang mendapat perlakuan pemanasan secara bergantian dengan melakukan pengamatan setiap 15 menit selama 60 menit dan mencatat hasilnya sebagai ɑ .

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah melakukan praktikum kali ini didapat data sebagai berikut :

Penentuan Laju Hidrolisis Sukrosa

Tabel pengamatan campuran larutan HCl dan Sukrosa (1:1)

Kurva hubunga Ln (αt-α~) terhadap waktu
Berdasarkan kurva hubungan antara ln(αt-α~) dengan waktu, nilai konstanta laju hidrolisis yang diperoleh sebesar 0,019 /s. Kurva hasil pengamatan sedikit berbeda apabila dibangdingkan dnegan teori. Pada kurva hasil pengamatan terjadi kenaikan nilai polarisasi pada t=0 menit hingga t= 45 menit. Sedangkan pada teori, kurva yang diperoleh tidak menunjukkan kenaikan nilai polarisasi. Kurva tidak berbentuk garis linier yang mengindikasikan orde reaksi 1 karena dipengaruhi oleh laju inversi sukrosa.

Tabel pengamatan campuran Sukrosa dan Enzim (1:20)

Kurva hubungan Ln (αt-α~) terhadap waktu
              Berdasarkan kurva hubungan antara ln(αt-α~) dengan waktu, nilai konstanta laju hidrolisis(K1) yang diperoleh sebesar 0,0001 /s  dan nilai konstanta laju hidrolisis(K1) yang diperoleh sebesar 0,009 /s. Kurva hasil pengamatan sedikit berbeda apabila dibangdingkan dnegan teori. Pada kurva hasil pengamatan terjadi kenaikan nilai polarisasi pada t=0 menit hingga t= 45 menit. Sedangkan pada teori, kurva yang diperoleh tidak menunjukkan kenaikan nilai polarisasi. Kinerja enzim pada suhu ruang kurang optimal dibandingkan dengan suhu ruang HCl.
              Berdasarkan percobaan diperoleh α (sukrosa dan enzim) pada temperature 400C sebesar 20,6 sedangkan pada temperature 700C nilai α (sukrosa dan enzim) sebesar 10,1 artinya bahwa nilai katalis ezim bekerja optimal pada temperature 400C dibandingkan pada temperature 700C. Kurva tidak berbentuk garis linier yang mengindikasikan orde reaksi 1 karena dipengaruhi oleh laju inversi sukrosa
Katalis ion H+ berbeda dengan katalis enzim. Perbedaan kedua katalis tersebut dapat dilihat dari nilai konstata laju hidrolisisnya. Pada reaksi hidrolisis menggunakan katalis ion H+, nilai k yang diperoleh adalah 0,019 /s sedangkan nilai k yang diperoleh pada reaksi hidrolisis menggunakan katalis enzim adalah 0,009 /s dan 0,0001 /s. Katalis ion H+ lebih mempengaruhi laju hidrolisis sukrosa daripada katalis enzim karena pada penggunaan katalis ion H+ laju hidrolisisnya lebih besar berdasarkan nilai k.

IV. KESIMPULAN
Dari praktikum ini dapat disimpulkan bahwa tetapan laju reaksi hidrolisis sukrosa dengan katalis ion H+ sebesar 0,019 /s, menggunakan katalis enzim sebesar 0,009 /s dan 0,0001 /s. Katalis ion H+ lebih mempengaruhi laju hidrolisis sukrosa daripada katalis enzim karena pada penggunaan katalis ion H+ laju hidrolisisnya lebih besar berdasarkan nilai k.

V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Achmad,H. 2001. Elektrokimia dan Kinetika Kimia. Citra Aditya Bakti. Bandung.
[2]Fessenden,RJ dan Fessenden,JS.1992. kimia Organik. Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
[3]Harjadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. PT Gramedia. Jakarta.
[4]Oxtoby,PW; Gills,HP; Nachtrieb,NH. 2001. Prinsip-Prinsip Kimia Modern. Jilid 2. Erlangga. Jakarta.